Al-Qur’an diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW sebagai pedoman dan petunjuk hidup bagi umat manusia agar sampai pada kebahagiaan di dunia yang sementara dan yang abadi di akhirat kelak. Namun demikian, ada sedemikian proses yang harus ditempuh untuk sampai kepada petunjuk Al-Qur’an tersebut, dan proses inilah yang oleh para ulama disebut sebagai tafsir Al-Quran, sehingga pada akhirnya petunjuk Al-Qur’an tidak bisa serta merta didapatkan hanya dengan membaca Al-Qur’an secara sederhana. Tafsir sendiri merupakan sebuah disiplin ilmu yang ditujukan untuk memahami Al-Quran dengan segenap daya dan upaya orang yang berhak melakukannya.
Dalam disiplin ilmu Al-Qur’an ada beragam jenis metode menafsirkan Al-Qur’an yang ditempuh para ulama, salah satu yang sering digunakan adalah metode maudhui’/tematik. Usaha penafsiran ini bertujuan untuk memberi gambaran lengkap bagaimana Al-Qur’an memandang sebuah tema tertentu yang akan dibahas. Ayat demi ayat yang memiliki tema identik akan dikumpulkan kemudian dikaji secara komprehensif sampai pada kesimpulan yang utuh tentang tema tersebut. Hal ini begitu penting mengingat Al-Qur'an dengan segenap kemukjizatannya memiliki keunikan tersendiri dalam hal susuan bagian demi bagiannya. Sebuah tema yang identik bisa saja kita temukan pembahasannya di beberapa tempat yang berbeda dalam Al-Qur’an.
Seiring
dengan perkembangan informasi yang begitu cepat dan instan, tafsir maudhui’
semakin menemukan signifikansinya. Masyarakat terbiasa membaca ataupun menerima
informasi yang sepotong-sepotong tanpa mau melihat lebih dalam apa yang ia
terima. Misalkan saja ketika beberapa istilah Al-Qur’an seperti amar makruf
nahi munkar, jihad, dan moderat yang seakan menjadi khas dan milik
kelompok tertentu saja. Padahal, istilah-istilah tersebut merupakan term
universal Al-Qur’an yang konsep dan gambaran utuhnya berhak dibaca, dikaji, dan
diterapkan oleh semua pihak asal sesuai dengan porsi idealnya.
Dalam
seri tulisan kali ini penulis akan mencoba memotret beberapa tema penting dalam
kehidupan kita menggunakan lensa tafsir maudhu'i secara ringkas dan sederhana.
Harapannya kita bisa melihat secara lebih utuh dan adil terhadap fenomena dan
berbagai term di kehidupan kita yang pada akhirnya Al-Qur’an jua lah yang
menjadi pedoman dan petunjuknya.
Term
pertama yang akan dibahas dalam seri tulisan ini adalah “Moderasi”. Barangkali kita
sering mendengar kalimat ini sebagai term positif yang menegasikan istilah
“ekstremisme” dan “intoleransi” atau bahkan “radikal” dan “terorisme”. Moderasi
beragama juga digadang-gadang sebagai jargon pemerintah kita dalam hal ini Kementerian
Agama Republik Indonesia dalam mengejawantahkan nilai-nilai agama di kehidupan
masyarakat kita yang heterogen dan plural ini.
Kata
moderasi sendiri secara sederhana merupakan alih bahasa dari bahasa Arab “Al-Wasathiyah”
yang merupakan salah satu derivasi dari akar kata “wa-sa-tha” yang
berarti adil, seimbang, dan berada di antara dua kutub yang berseberangan.
Selain itu kata ini juga bermakna “pilihan” atau “yang terbaik” dalam bahasa
Indonesia. Dari kata dasar inilah maka muncul beberapa kata turunannya yang
bisa kita temukan di beberapa ayat Al-Qur’an seperti halnya di surat Al-Baqarah
ayat 143, Al-Qolam ayat 28 , dan Al-‘Adhiyat ayat 5.
Dalam
perkembangan kajian selanjutnya kata ini memiliki korelasi erat dengar berbagai
kata lain di dalam bahasa Arab seperti kata Al-Ghuluw dan Al-Ifrath
yang keduanya merupakan negasi dari kata Al-Wasathiyah karena bermakna
melampau batas atau berlebihan pada sesuatu, sebagaimana kata “At-Tafrith”
juga merupakan negasinya karena bermakna sangat kurang dari sesuatu. Sedangkan
kata yang beriring sejalan dengan Al-Wasathiyah adalah “As-Shirath
Al-Mustaqim” karena bermakna jalan yang lurus atau tegak dan tidak belok.
Dari
pengertian di atas bisa ditarik beberapa pandangan umum tentang moderasi di
alam Al-Qur’an seperti halnya “keadilan” yang merupakan tafsiran dari kata “Wasathan”
dalam surat Al-Baqarah ayat 143 menurut At-Thabari dalam tafsirnya. Dalam
berbagai ayat, keadilan dijadikan sebagai salah satu pokok ajaran agama yang
tidak hanya berlaku terhadap teman melainkan juga adil terhadap lawan seperti
yang dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 8. Selain itu, ada pula term “Al-Hikmah”,
“Al-Istiqamah”, “At-Taisir” dan “Raf’u al-haraj” yang berarti asas
kemudahan dalam agama Islam yang semuanya merupakan pandangan umum dari
moderasi yang terjelaskan di berbagai ayat Al-Qur’an.
Adapun
pada tataran praksis, moderasi tercermin dalam beberapa hal, di antaranya dalam
aqidah, ibadah, etika, dan muamalah atau pergaulan kita dengan sesama muslim
bahkan dengan lain agama yang semuanya memiliki pedoman yang tertuang dalam
berbagai ayat Al-Qur’an dan bisa dijelaskan satu persatu pada tempatnya
sehingga memberikan perspektif yang sangat luas dan ideal dalam kehidupan
beragama kita, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial yang hidup
berdampingan satu sama lain dengan segenap perbedaan dalam banyak hal.
Demikian
pembahasan ringkas tentang moderasi dalam tilikan Al-Qur’an ini
agar menjadi pembuka wawasan kita terhadap konsep Islam yang universal dan
ideal jika bisa dipahami dan dikontekstualisasikan dalam kehidupan kita yang sedang
penuh tantangan ini. Semoga kita selalu diberikan kesehatan dan keselamatan
oleh Allah SWT.
Wallahu A’lam bis Shawab.
Bogor, Januari 2021