Kata “Hijrah”
kerap kita dengar sebagai label untuk seseorang yang awalnya serampangan
lalu karena sebab tertentu merubah penampilan menjadi lebih agamis. Perilaku
dan atributnya menjadi lebih “Syar’i”, komunitas pergaulannya juga kerap
berubah menyesuaikan sikap religiusnya. Pada titik yang lebih ekstrem, sebagian
mereka tiba-tiba banting setir meninggalkan pekerjaan lamanya yang dianggap
tidak sesuai dengan idealisme religius baru mereka. Lalu bagaimana sebetulnya
Islam menjelaskan konsep “Hijrah”?. Kali ini melalui tulisan sederhana ini,
kita akan coba menelaahnya melalui kajian tafsir tematik “Hijrah” dalam
tilikan Al-Qur’an.
Hijrah dalam
bahasa Arab berasal dari kata dasar “Hajara” yang berarti “al-Tark”
dan “al-Mufaraqah” yang dalam bahasa Indonesia bermakna “meninggalkan atau memisahkan diri”. Dalam Al-Qur’an ada 31 kata dengan berbagai macam
bentuknya yang berasal dari kata dasar “Hajara”. Semua kata tersebut bermakna
meninggalkan secara fisik atau hanya secara lisan dan hati.
Salah satu
bentuk hijrah secara fisik yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah hijrah dalam
arti berpindah fisik dari suatu tempat atau lingkungan yang tidak mendukung ibadah
kepada Allah menuju tempat lain yang lebih kondusif untuk bisa beribadah. Sejarah
hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dilatarbelakangi oleh motif ini. Umat
Islam yang di Makkah harus berhijrah ke Madinah agar bisa lebih kondusif
beribadah dan berislam secara lebih maksimal.
Berkaitan dengan jenis hijrah ini Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ankabut ayat 56:
يٰعِبَادِيَ
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ اَرْضِيْ وَاسِعَةٌ فَاِيَّايَ فَاعْبُدُوْنِ
Dalam Tafsir
Ringkas Kemenag dijelaskan: Stelah rangkaian ayat-ayat sebelumnya menggambarkan
sikap dan perlakuan buruk orang-orang kafir Mekah kepada kaum muslim, terutama
yang duafa, ayat-ayat berikut memerintahkan agar mereka berhijrah meski harus
meninggalkan harta benda dan sanak saudara mereka. Wahai hamba-hamba-Ku yang
beriman! Jika kamu tidak leluasa beribadah kepada Allah karena mendapat ancaman
dan teror dari kaum kafir, berhijrahlah ke daerah lain yang lebih aman. Sungguh,
bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku semata dan janganlah takut sebab Aku-lah yang
memenuhi kebutuhan hamba-Ku. Aku pula yang menentukan hidup dan mati mereka.
Jenis hijrah
ini rasanya secara umum tidak relevan diamalkan bagi kita yang tinggal di Indonesia.
Kita sangat bersyukur tinggal di sebuah negara atau lingkungan yang sangat
mendukung dan kondusif untuk beribadah kepada Allah SWT. Masjid dan musala ada
di mana-mana dan dibuka 24 jam. Kita bebas untuk mengikuti pengajian di mana
saja dan kapan saja dan dengan ustaz yang mana saja. Sungguh nikmat yang amat
besar yang sering luput kita syukuri. Kita cenderung tidak maksimal
memanfaatkan peluang dan kemudahan yang tersedia, padahal di luar sana banyak umat
Islam yang sangat terbatas dalam mengekspresikan agamanya.
Adapun jenis hijrah kedua yang
disebutkan Al-Qur’an adalah hijrah dalam arti berpindah fisik dalam rangka
mempelajari ilmu agama sebagaimana disebutkan di dalam surat Al-Taubah ayat 122:
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَافَّة فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِّنْهُمْ طَاىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ
اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ
Terkait ayat ini, kita bisa membaca
penjelasan singkatnya di dalam Tafsir Ringkas Kemenag sebagaimana berikut: Pada
ayat sebelumnya dijelaskan tentang pahala yang dijanjikan Allah kepada
orang-orang yang berbuat baik. Pada ayat ini dijelaskan tentang pentingnya
pembagian tugas kerja dalam kehidupan bersama dengan penegasan tidak sepatutnya
orang-orang mukmin itu semuanya pergi ke medan perang sehingga hal yang lainnya
terabaikan. Mengapa tidak ada sebagian dari setiap golongan di antara mereka
yang pergi untuk bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan agama mereka dan
untuk memberi peringatan dengan menyebarluaskan pengetahuan tersebut kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali dari berperang atau tugas apa pun,
pengetahuan agama ini penting agar mereka dapat menjaga dirinya dan
berhati-hati agar tidak melakukan pelanggaran.
Inilah jenis
hijrah yang sangat relevan diamalkan di lingkungan kita. Semangat hijrah dalam
arti belajar ilmu agama harus lebih diutamakan dari pada hanya sekedar hijrah secara
simbolis dengan mengubah gaya berpakaian dan gaya berbicara yang seolah berubah
menjadi lebih agamis. Hijrah simbolis yang seperti ini harus dibarengi dengan
proses belajar Islam dengan cara yang benar agar menghasilkan ilmu dan adab
yang baik. Kita semua mendambakan hijrah yang membentuk pribadi kita menjadi
mudah dicintai oleh Allah SWT dan semua makhluknya, bukan hijrah yang membuat
kita melihat orang di luar sana dengan kaca mata negatif.
Lebih lanjut lagi makna hijrah dalam
Al-Qur’an yang berarti meninggalkan suatu tempat secara fisik berkaitan dengan
motif perniagaan. Dalam surat Al-Jumu’ah ayat 10 disebutkan:
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى
الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا
لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Dalam ayat ini dijelaskan apabila
salat wajib telah dilaksanakan di awal waktu dengan berjamaah di masjid; maka
bertebaranlah kamu di bumi, kembali bekerja dan berbisnis; carilah karunia
Allah, rezeki yang halal, berkah, dan melimpah dan ingatlah Allah banyak-banyak
ketika salat maupun ketika bekerja atau berbisnis agar kamu beruntung, menjadi
pribadi yang seimbang, serta sehat mental dan fisik.
Melalui ayat
ini kita diperintahkan untuk bergerak, berpindah, dan merantau dari satu tempat
ke tempat lainnya dalam rangka menjemput rezeki dan karunia Allah SWT. Islam
tidak menghendaki umatnya hanya berdiam diri dan menunggu rezeki datang tanpa
melakukan apa pun. Pergerakan manusia dibutuhkan agar roda ekonomi bisa menopang
kehidupan dunia. Asalkan cara yang dilakukan benar sesuai syariat dan tidak
merugikan orang lain maka usaha dan perniagaan kita bisa dihitung sebagai hijrah
fisik yang bernilai ibadah di hadapan Allah SWT.
Dari beberapa penjelasan
bentuk hijrah secara singkat di atas maka pemaknaan hijrah yang relevan bagi
kita adalah dengan cara meningkatkan kapasitas diri dengan belajar agama Islam
secara lebih dalam, baik secara langsung kepada guru atau melalui berbagai
media yang kredibel. Selain itu jika kita bergerak dan berpindah dari satu
tempat ke tempat lain untuk mencari rezeki dan nafkah maka itu adalah bentuk
hijrah yang juga diperintahkan oleh Allah SWT.
Hijrah jangan
sampai diartikan dengan meninggalkan apalagi membenci lingkungan dan keluarga yang
dianggap tidak sesuai dengan idealisme Islam yang kita anggap benar. Hijrah justru menjadikan kita lebih sayang kepada orang-orang di sekitar kita dan
berupaya dengan bijak mengajak mereka bersama-sama menuju rida Allah SWT.