Sabtu, 28 Agustus 2021

Tafsir Maudhu’i | Hijrah dalam Tilikan Al-Qur’an

 


Kata “Hijrah” kerap kita dengar sebagai label untuk seseorang yang awalnya serampangan lalu karena sebab tertentu merubah penampilan menjadi lebih agamis. Perilaku dan atributnya menjadi lebih “Syar’i”, komunitas pergaulannya juga kerap berubah menyesuaikan sikap religiusnya. Pada titik yang lebih ekstrem, sebagian mereka tiba-tiba banting setir meninggalkan pekerjaan lamanya yang dianggap tidak sesuai dengan idealisme religius baru mereka. Lalu bagaimana sebetulnya Islam menjelaskan konsep “Hijrah”?. Kali ini melalui tulisan sederhana ini, kita akan coba menelaahnya melalui kajian tafsir tematik “Hijrah” dalam tilikan Al-Qur’an.

Hijrah dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar “Hajara” yang berarti “al-Tark” dan “al-Mufaraqah” yang dalam bahasa Indonesia bermakna “meninggalkan atau memisahkan diri”. Dalam Al-Qur’an ada 31 kata dengan berbagai macam bentuknya yang berasal dari kata dasar “Hajara”. Semua kata tersebut bermakna meninggalkan secara fisik atau hanya secara lisan dan hati.

Salah satu bentuk hijrah secara fisik yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah hijrah dalam arti berpindah fisik dari suatu tempat atau lingkungan yang tidak mendukung ibadah kepada Allah menuju tempat lain yang lebih kondusif untuk bisa beribadah. Sejarah hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dilatarbelakangi oleh motif ini. Umat Islam yang di Makkah harus berhijrah ke Madinah agar bisa lebih kondusif beribadah dan berislam secara lebih maksimal.

Berkaitan dengan jenis hijrah ini Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ankabut ayat 56:

يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ اَرْضِيْ وَاسِعَةٌ فَاِيَّايَ فَاعْبُدُوْنِ

Dalam Tafsir Ringkas Kemenag dijelaskan: Stelah rangkaian ayat-ayat sebelumnya menggambarkan sikap dan perlakuan buruk orang-orang kafir Mekah kepada kaum muslim, terutama yang duafa, ayat-ayat berikut memerintahkan agar mereka berhijrah meski harus meninggalkan harta benda dan sanak saudara mereka. Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Jika kamu tidak leluasa beribadah kepada Allah karena mendapat ancaman dan teror dari kaum kafir, berhijrahlah ke daerah lain yang lebih aman. Sungguh, bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku semata dan janganlah takut sebab Aku-lah yang memenuhi kebutuhan hamba-Ku. Aku pula yang menentukan hidup dan mati mereka.

Jenis hijrah ini rasanya secara umum tidak relevan diamalkan bagi kita yang tinggal di Indonesia. Kita sangat bersyukur tinggal di sebuah negara atau lingkungan yang sangat mendukung dan kondusif untuk beribadah kepada Allah SWT. Masjid dan musala ada di mana-mana dan dibuka 24 jam. Kita bebas untuk mengikuti pengajian di mana saja dan kapan saja dan dengan ustaz yang mana saja. Sungguh nikmat yang amat besar yang sering luput kita syukuri. Kita cenderung tidak maksimal memanfaatkan peluang dan kemudahan yang tersedia, padahal di luar sana banyak umat Islam yang sangat terbatas dalam mengekspresikan agamanya.

Adapun jenis hijrah kedua yang disebutkan Al-Qur’an adalah hijrah dalam arti berpindah fisik dalam rangka mempelajari ilmu agama sebagaimana disebutkan di dalam surat Al-Taubah ayat 122:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَافَّة فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ

Terkait ayat ini, kita bisa membaca penjelasan singkatnya di dalam Tafsir Ringkas Kemenag sebagaimana berikut: Pada ayat sebelumnya dijelaskan tentang pahala yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang berbuat baik. Pada ayat ini dijelaskan tentang pentingnya pembagian tugas kerja dalam kehidupan bersama dengan penegasan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi ke medan perang sehingga hal yang lainnya terabaikan. Mengapa tidak ada sebagian dari setiap golongan di antara mereka yang pergi untuk bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan dengan menyebarluaskan pengetahuan tersebut kepada kaumnya apabila mereka telah kembali dari berperang atau tugas apa pun, pengetahuan agama ini penting agar mereka dapat menjaga dirinya dan berhati-hati agar tidak melakukan pelanggaran.

Inilah jenis hijrah yang sangat relevan diamalkan di lingkungan kita. Semangat hijrah dalam arti belajar ilmu agama harus lebih diutamakan dari pada hanya sekedar hijrah secara simbolis dengan mengubah gaya berpakaian dan gaya berbicara yang seolah berubah menjadi lebih agamis. Hijrah simbolis yang seperti ini harus dibarengi dengan proses belajar Islam dengan cara yang benar agar menghasilkan ilmu dan adab yang baik. Kita semua mendambakan hijrah yang membentuk pribadi kita menjadi mudah dicintai oleh Allah SWT dan semua makhluknya, bukan hijrah yang membuat kita melihat orang di luar sana dengan kaca mata negatif.

Lebih lanjut lagi makna hijrah dalam Al-Qur’an yang berarti meninggalkan suatu tempat secara fisik berkaitan dengan motif perniagaan. Dalam surat Al-Jumu’ah ayat 10 disebutkan:

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Dalam ayat ini dijelaskan apabila salat wajib telah dilaksanakan di awal waktu dengan berjamaah di masjid; maka bertebaranlah kamu di bumi, kembali bekerja dan berbisnis; carilah karunia Allah, rezeki yang halal, berkah, dan melimpah dan ingatlah Allah banyak-banyak ketika salat maupun ketika bekerja atau berbisnis agar kamu beruntung, menjadi pribadi yang seimbang, serta sehat mental dan fisik.

Melalui ayat ini kita diperintahkan untuk bergerak, berpindah, dan merantau dari satu tempat ke tempat lainnya dalam rangka menjemput rezeki dan karunia Allah SWT. Islam tidak menghendaki umatnya hanya berdiam diri dan menunggu rezeki datang tanpa melakukan apa pun. Pergerakan manusia dibutuhkan agar roda ekonomi bisa menopang kehidupan dunia. Asalkan cara yang dilakukan benar sesuai syariat dan tidak merugikan orang lain maka usaha dan perniagaan kita bisa dihitung sebagai hijrah fisik yang bernilai ibadah di hadapan Allah SWT.

Dari beberapa penjelasan bentuk hijrah secara singkat di atas maka pemaknaan hijrah yang relevan bagi kita adalah dengan cara meningkatkan kapasitas diri dengan belajar agama Islam secara lebih dalam, baik secara langsung kepada guru atau melalui berbagai media yang kredibel. Selain itu jika kita bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari rezeki dan nafkah maka itu adalah bentuk hijrah yang juga diperintahkan oleh Allah SWT.

Hijrah jangan sampai diartikan dengan meninggalkan apalagi membenci lingkungan dan keluarga yang dianggap tidak sesuai dengan idealisme Islam yang kita anggap benar. Hijrah justru menjadikan kita lebih sayang kepada orang-orang di sekitar kita dan berupaya dengan bijak mengajak mereka bersama-sama menuju rida Allah SWT.

 

Sabtu, 27 Maret 2021

Tafsir Maudhu’i | Wanita dalam Tilikan Al-Qur’an

 


Dari segi lafaz, "wanita" sudah memiliki keunikan tersendiri. Lafaz "An-Nisa" yang berarti wanita dalam bahasa Arab merupakan bentuk jamak dari lafaz tunggal "Al-Mar'ah". Jika diperhatikan, korelasi antar kedua kata tersebut tidak bisa ditebak. Padahal jika memiliki persamaan makna, biasanya antar bentuk dalam bahasa Arab memiliki akar kata yang sama. Seperti kata "laki-laki" yang dalam bahasa Arab disebut "Ar-Rojul", ia memiliki bentuk jamak "Ar-Rijal", sebuah kata yang masih memiliki korelasi akar kata dari bentuk tunggalnya dan mudah ditebak pola perubahannya.

Nah, Jika dari segi lafaznya saja "wanita" sudah unik, maka apalagi dari segi-segi lainnya. Mari kita simak bagaimana Al-Qur'an menjelaskan salah satu ciptaan Allah SWT yang luar biasa ini.

Di dalam Al-Qur'an, lafaz "An-Nisa" disebutkan sebanyak 57 kali sedangkan kata yang se-akar dengannya yaitu "niswatun" disebut sebanyak dua kali. Kata “wanita” di dalam al-Qur'an juga kadang disebutkan menggunakan istilah lain, seperti "Mar'ah - Zaujah - Ahl - Untsa - Bint" yang semuanya menunjuk pada arti wanita meskipun secara spesifik memiliki perbedaan makna.

Bahkan di dalam Al-Qur'an sendiri ada dua surat khusus yang secara global membahas perihal perempuan. Surat yang pertama adalah surat An-Nisa, di mana pada awal surat ini Allah menerangkan tentang penciptaan wanita (ayat 1) dan menutup surat ini dengan pembahasan hak waris untuk wanita (ayat 176). Adapun ayat lainnya dalam surat ini banyak menjelaskan perihal wanita dari mulai lahir hingga wafatnya.

Surat kedua yang dimaksud di sini adalah surat at-Thalaq yang di antara isinya menjelaskan tentang masa ‘iddah perempuan, penghidupan dan hak nafkah setelah berpisah dengan suaminya. Jika dibandingkan memang surat An-Nisa lebih panjang dari pada surat At-Thalaq, dan oleh sebab itu para ulama menamakan yang pertama sebagai surat an-Nisa al-Kubra (besar), sedangkan yang kedua disebut sebagai surat An-Nisa As-Sughra (kecil).

Di sisi lain, kita juga bisa menemukan banyak kisah yang diceritakan di dalam Al-Qur'an yang salah satu tokoh sentralnya adalah seorang wanita. Sebut saja misalkan kisah Istri Nabi Adam, istri nabi Ibrahim, kisah istri-istri nabi Muhammad, Maryam ibunda nabi Isa, ratu negeri Saba', dan masih banyak lagi tokoh-tokoh terpuji yang disebut dalam Al-Qur'an. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an menempatkan wanita di posisi yang luar biasa istimewa dan tidak meletakannya di bawah posisi laki-laki.

Padahal seperti kita tahu ketika Islam datang di jazirah Arab, saat itu wanita dianggap sebagai makhluk yang tidak berarti. Secara strata sosial mereka tidak begitu diperhitungkan sehingga diperlakukan semena-mena, tidak mendapatkan hak waris melainkan dijadikan objek waris, dan bahkan kehadirannya dianggap sebagai aib. Lalu Islam pun datang dan merevolusi konsep sosial tersebut sehingga harkat dan martabat perempuan pun terangkat dan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT.

Ketika Islam datang, wanita tidak lagi dianggap sebagai objek kaum Adam, melainkan wanita ditempatkan sejajar sebagai partner laki-laki dalam membangun dan membina rumah tangga. Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 21:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Dalam konsep ibadah pun laki-laki dan wanita memiliki kedudukan yang sama dan hanya dibedakan berdasarkan kualitas amalnya saja, bukan berdasarkan gender. Hal ini bisa kita lihat dalam surat Ali Imran ayat 195:

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى ۚ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍ ۚ

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain”

Pun dalam konsep rumah tangga, seorang istri tidak ditempatkan sebagai pembantu apalagi pemuas suami. Sepasang suami-istri memiliki kewajiban dan hak yang adil dalam pandangan Islam. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah 228:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

“Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Maha perkasa, Maha bijaksana”

Adapun sebagian ayat Al-Qur’an yang dianggap sebagai keberpihakan Al-Qur’an kepada kaum laki-laki, maka harus dibaca dan dipahami secara komprehensif melalui tafsiran para ulama yang kredibel dalam memberikan penjelasan terkait ayat tersebut. Misalkan saja ketika kita membaca surat An-Nisa ayat 34:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.”

Ayat tersebut jika dipahami secara mendalam dan seksama sama sekali tidak berbicara tentang unggulnya derajat laki-laki dibandingkan wanita. Justru ayat ini berbicara tentang tanggung jawab laki-laki (suami) untuk melindungi dan menafkahi istrinya, lantaran mereka telah dianugerahi kemampuan fisik dan non fisik yang lebih dari pada wanita. Begitu lah salah satu penjelasan ayat tersebut menurut salah satu mufasir kontemporer yang baru saja wafat beberapa waktu lalu, Syekh Muhammad Ali As-Shabuni. Allahu yarhamhu.

Demikian uraian singkat tafsir mau’dhui kali ini. Sangat luas kiranya jika dijabarkan secara detail perihal wanita di dalam Al-Qur’an, tapi paling tidak kita telah memahami bahwa Al-Qur’an menempatkan wanita di posisi yang mulia sebagai makhluk Allah SWT yang bertakwa.

 Bogor, Maret 2021

Jumat, 26 Februari 2021

Tafsir Maudhu’i | Manusia dalam Tilikan Al-Qur’an


          Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling banyak mendapatkan porsi untuk dibahas di dalam Al-Qur'an. Hal ini tidak mengherankan karena Al-Qur'an 
memang diturunkan  sebagai petunjuk bagi umat manusia. Al-Qur’an berbicara tentang manusia mulai dari asal muasal penciptaan hingga bagaimana tempat kembali terakhirnya. Di samping itu, melalui kitab suci al-Qur'an Allah SWT  tentunya telah memberikan arahan dan panduan agar manusia lulus dari segala bentuk cobaan dan hiruk pikuk problem kehidupan sehingga selamat hingga akhirat kelak.

Dalam tulisan kali ini, penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana Al-Qur'an menerangkan tentang apa itu manusia dan bagaimana seharusnya ia menjalani kehidupan. Begitu banyak ayat Al-Qur'an yang berbicara perihal manusia, namun penulis tidak akan membahas semuanya, hanya beberapa hal penting saja yang harus kita ketahui bersama.

Kita akan memulai dari apa dan bagaimana pengertian “manusia” itu sendiri. Pakar ilmu bahasa Arab, Ibnu Faris dalam kamus Maqayis Al-Lughah menerangkan kata “manusia” yang dalam bahasa Arab disebut “Al-Insan” adalah sebuah kata yang berasal dari tiga huruf inti yaitu hamzah, nun, dan sin. Susunan tiga huruf tersebut bermakna “ad-Dhuhur” yang berarti “Muncul atau tampak”. Kata terambil dari kata dasar “Al-Insu” sebagai antonim kata “Al-Jin” yang berarti tidak nampak. Pakar bahasa lain, Ar-Raghib Al-Asfihani menjelaskan kata “Al-Insan” berasal dari kata dasar “al-Ansu” yang berarti jinak sebagai lawan kata dari buas. Selain dua pendapat di atas, pendapat lain diungkapkan oleh Ibnu Abbas bahwa “Al-insan” Berasal dari kata “An-Nisyan” yang berarti lupa. Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang pernah terikat sebuah janji kepada Allah namun mereka lupa akan janji tersebut.

Adapun pengertian “manusia” secara terminologi, banyak sekali ulama yang memberikan pandangannya. Salah satu yang masyhur adalah pengertian “manusia” menurut Abu Al-Hasan Al-Asy'ari dalam Maqalat Al-Islamiyyin yang menjelaskan bahwa salah satu pengertian “manusia” menurut istilah adalah sebuah entitas yang terdiri dari ruh dan badan. Melengkapi pengertian ini, Al-Jurjani dalam At-Ta'rifat menjelaskan “manusia” adalah sebuah entitas hidup yang berakal (Al-Hayawan An-Nathiq) sebagai pembeda dengan makhluk Allah lainnya yang hidup dalam jasad tanpa disertai akal pikiran.

Di dalam Al-Qur'an sendiri, sebagai salah satu tema terbesar yang dibahas, kata “Al-Insan” dan bermacam kata turunannya disebutkan sebanyak 97 kali. Adakalanya yang dimaksudkan dengan kalimat “manusia” ini adalah nabi Adam AS sebagai bapak umat manusia seperti dalam surat Al-Mu'minun ayat 12:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ ۚ

“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah”

Dan adakalanya yang dimaksudkan adalah umat manusia secara umum sebagaimana dalam surat An-Naziat ayat 35:

يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْاِنْسَانُ مَا سَعٰىۙ

“Yaitu pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya”

Bahkan pada kesempatan lain, kata “manusia” disebutkan untuk menunjuk person tertentu semisal Abu Jahal seperti dalam surat Al-'Alaq ayat 6:

كَلَّآ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَيَطْغٰىٓ ۙ

“Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas”

Selain menggunakan kata “Al-Insan”, penyebutan “manusia” di dalam Al-Qur'an juga menggunakan istilah lain yang masing-masing memiliki karakteristik dan detail makna yang berbeda. Salah satunya adalah istilah “Al-Basyar” yang disebut dalam Al-Quran sebanyak 35 kali untuk menyebutkan manusia dalam konteks makhluk yang memiliki karakteristik materiil seperti umumnya manusia seperti makan, minum, pergi ke pasar dan lain sebagainya. Dalam hal ini para rasul dan nabi disebut sebagai Al-Basyar karena tidak ada beda dengan manusia pada umumnya dalam konteks humanis materiil. Ada pula kalimat lainnya, adalah kata “Al-Anam” yang disebutkan dalam surat Ar-Rahman ayat 10 untuk merujuk pada arti manusia dan juga jin. Selain dua yang telah disebutkan masih ada istilah lain dalam Al-Qur’an seperti Bani Adam, An-Nas, dan Al-Insu yang masing-masing perlu penelaahan mendalam untuk memahami konteks penggunaan kalimatnya.

Hal penting yang perlu disampaikan di sini adalah mengenai tujuan dan fungsi penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian kita memahami bahwa penciptaan manusia adalah hanya untuk beribadah semata sebagaimana disebutkan di dalam surat Ad-Dzariyat ayat 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”

Padahal apabila kita telaah ayat-ayat lainya, kita juga menemukan bahwa mausia diciptakan dalam rangka “Al-Isti’mar” atau tugas untuk memakmurkan bumi sebagaimana disebut dalam surat Hud ayat 61:

وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًا ۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗهُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا فَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ ۗاِنَّ رَبِّيْ قَرِيْبٌ مُّجِيْبٌ

“dan kepada kaum samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya).”

Para ulama mendefinisikan kata “Al-Isti’mar” sebagai bentuk memakmurkan bumi dengan cara membangun, menanam, ataupun kegiatan lainnya agar tercipta kehidupan yang layak di muka bumi sehingga terbangun peradaban yang maju dan tentunya sesuai dengan ketentuan dan tuntunan dari petunjuk Nabi SAW.

Ketika manusia sudah mengetahui fungsi dan tujuan dari penciptaannya, manusia juga harus menyadari akan karakteristik dan kelemahannya agar bisa terhindar dari perangkap dalam dirinya sendiri. Allah SWT di dalam Al-Qur’an menjelaskan beberapa sifat naluriah manusia seperti sifat lemah (Surat An-Nisa ayat 28), tergesa-gesa (Surat Al-Isra ayat 11), suka berdebat (Surat Al-Kahf ayat 54), Pelit (Surat Al-Isra’ ayat 100), cinta dunia (Surat Al-Adiyat ayat 8), dan sederet karakteristik negatif lainya seperti suka mengeluh, zalim, bodoh, dan lain sebagainya. Namun demikian, penyebutan sederet karakteristik ini bukan dalam rangka melemahkan tabiat manusia dan menjauhkan dari optimisme, melainkan agar manusia bisa menyiasati supaya dirinya tidak terlampau jauh dari tujuan utama penciptaannya, ibadah dan memakmurkan bumi.

Pada dasarnya manusia juga sangat berkemungkinan mendapatkan rahmat dan anugerah Alah SWT sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk berputus asa. Selagi kita senantiasa meluruskan niat dan akidah kita kemudian memperbaiki semua amal kita, niscaya dua hal itulah yang akan menjadi kunci kebahagiaan dunia dan akhirat sebagaimana disampaikan oleh Grand Syeikh Al-Azhar, Prof. Dr. Syeikh Ahmad Muhammad al-Thayyib dalam sebuah ceramahnya.

Demikian pembahasan singkat kali ini. Semoga kita bisa menjadi manusia yang mampu menunaikan dua tugas besar kita di dunia dengan baik, dan kita berharap semoga senantiasa diberikan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya. Amiin..

Wallahu A’lam bis Shawab. 

Bogor, Februari 2021

Jumat, 29 Januari 2021

Tafsir Maudhu’i | Moderasi dalam Tilikan Al-Qur’an


           Al-Qur’an diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW sebagai pedoman dan petunjuk hidup bagi umat manusia agar sampai pada kebahagiaan di dunia yang sementara dan yang abadi di akhirat kelak. Namun demikian, ada sedemikian proses yang harus ditempuh untuk sampai kepada petunjuk Al-Qur’an tersebut, dan proses inilah yang oleh para ulama disebut sebagai tafsir Al-Quran, sehingga pada akhirnya petunjuk Al-Qur’an tidak bisa serta merta didapatkan hanya dengan membaca Al-Qur’an secara sederhana. Tafsir sendiri merupakan sebuah disiplin ilmu yang ditujukan untuk memahami Al-Quran dengan segenap daya dan upaya orang yang berhak melakukannya.

Dalam disiplin ilmu Al-Qur’an ada beragam jenis metode menafsirkan Al-Qur’an yang ditempuh para ulama, salah satu yang sering digunakan adalah metode maudhui’/tematik. Usaha penafsiran ini bertujuan untuk memberi gambaran lengkap bagaimana Al-Qur’an memandang sebuah tema tertentu yang akan dibahas. Ayat demi ayat yang memiliki tema identik akan dikumpulkan kemudian dikaji secara komprehensif sampai pada kesimpulan yang utuh tentang tema tersebut. Hal ini begitu penting mengingat Al-Qur'an dengan segenap kemukjizatannya memiliki keunikan tersendiri dalam hal susuan bagian demi bagiannya. Sebuah tema yang identik bisa saja kita temukan pembahasannya di beberapa tempat yang berbeda dalam Al-Qur’an.

Seiring dengan perkembangan informasi yang begitu cepat dan instan, tafsir maudhui’ semakin menemukan signifikansinya. Masyarakat terbiasa membaca ataupun menerima informasi yang sepotong-sepotong tanpa mau melihat lebih dalam apa yang ia terima. Misalkan saja ketika beberapa istilah Al-Qur’an seperti amar makruf nahi munkar, jihad, dan moderat yang seakan menjadi khas dan milik kelompok tertentu saja. Padahal, istilah-istilah tersebut merupakan term universal Al-Qur’an yang konsep dan gambaran utuhnya berhak dibaca, dikaji, dan diterapkan oleh semua pihak asal sesuai dengan porsi idealnya.

Dalam seri tulisan kali ini penulis akan mencoba memotret beberapa tema penting dalam kehidupan kita menggunakan lensa tafsir maudhu'i secara ringkas dan sederhana. Harapannya kita bisa melihat secara lebih utuh dan adil terhadap fenomena dan berbagai term di kehidupan kita yang pada akhirnya Al-Qur’an jua lah yang menjadi pedoman dan petunjuknya.

Term pertama yang akan dibahas dalam seri tulisan ini adalah “Moderasi”. Barangkali kita sering mendengar kalimat ini sebagai term positif yang menegasikan istilah “ekstremisme” dan “intoleransi” atau bahkan “radikal” dan “terorisme”. Moderasi beragama juga digadang-gadang sebagai jargon pemerintah kita dalam hal ini Kementerian Agama Republik Indonesia dalam mengejawantahkan nilai-nilai agama di kehidupan masyarakat kita yang heterogen dan plural ini.

Kata moderasi sendiri secara sederhana merupakan alih bahasa dari bahasa Arab “Al-Wasathiyah” yang merupakan salah satu derivasi dari akar kata “wa-sa-tha” yang berarti adil, seimbang, dan berada di antara dua kutub yang berseberangan. Selain itu kata ini juga bermakna “pilihan” atau “yang terbaik” dalam bahasa Indonesia. Dari kata dasar inilah maka muncul beberapa kata turunannya yang bisa kita temukan di beberapa ayat Al-Qur’an seperti halnya di surat Al-Baqarah ayat 143, Al-Qolam ayat 28 , dan Al-‘Adhiyat ayat 5.

Dalam perkembangan kajian selanjutnya kata ini memiliki korelasi erat dengar berbagai kata lain di dalam bahasa Arab seperti kata Al-Ghuluw dan Al-Ifrath yang keduanya merupakan negasi dari kata Al-Wasathiyah karena bermakna melampau batas atau berlebihan pada sesuatu, sebagaimana kata “At-Tafrith” juga merupakan negasinya karena bermakna sangat kurang dari sesuatu. Sedangkan kata yang beriring sejalan dengan Al-Wasathiyah adalah “As-Shirath Al-Mustaqim” karena bermakna jalan yang lurus atau tegak dan tidak belok.

Dari pengertian di atas bisa ditarik beberapa pandangan umum tentang moderasi di alam Al-Qur’an seperti halnya “keadilan” yang merupakan tafsiran dari kata “Wasathan” dalam surat Al-Baqarah ayat 143 menurut At-Thabari dalam tafsirnya. Dalam berbagai ayat, keadilan dijadikan sebagai salah satu pokok ajaran agama yang tidak hanya berlaku terhadap teman melainkan juga adil terhadap lawan seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 8. Selain itu, ada pula term “Al-Hikmah”, “Al-Istiqamah”, “At-Taisir” dan “Raf’u al-haraj” yang berarti asas kemudahan dalam agama Islam yang semuanya merupakan pandangan umum dari moderasi yang terjelaskan di berbagai ayat Al-Qur’an.

Adapun pada tataran praksis, moderasi tercermin dalam beberapa hal, di antaranya dalam aqidah, ibadah, etika, dan muamalah atau pergaulan kita dengan sesama muslim bahkan dengan lain agama yang semuanya memiliki pedoman yang tertuang dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan bisa dijelaskan satu persatu pada tempatnya sehingga memberikan perspektif yang sangat luas dan ideal dalam kehidupan beragama kita, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial yang hidup berdampingan satu sama lain dengan segenap perbedaan dalam banyak hal.

Demikian pembahasan ringkas tentang moderasi dalam tilikan Al-Qur’an ini agar menjadi pembuka wawasan kita terhadap konsep Islam yang universal dan ideal jika bisa dipahami dan dikontekstualisasikan dalam kehidupan kita yang sedang penuh tantangan ini. Semoga kita selalu diberikan kesehatan dan keselamatan oleh Allah SWT.

Wallahu A’lam bis Shawab.


Bogor, Januari 2021

Kamis, 02 Agustus 2018

Seleksi Tahap Akhir (Interview by Phone)

Sekian lama sudah selama libur di Indonesia saya tidak aktif di blog. Beberapa artikel belum kesampaian saya tulis, beberapa komen belum sempat saya balas. Padahal saya bayangkan saat liburan di Indonesia ini akan jauh lebih aktif di blog, justru malah sebaliknya. Ada saja acara ataupun kegiatan yang mengalihkan perhatian dari blog ini. 

So, maafkan yaa, khususnya bagi beberapa teman yang akhirnya memilih chat langsung kepada saya via Instagram dan Facebook karena terlalu lama menunggu artikel tentang bagaimana cara melewati seleksi tahap akhir, atau interview by phone. Dan akhirnya saya harus menjawab mereka satu persatu tentang garis besar gambaran berlangsungnya interview tersebut.

Secara garis besar, interview by phone adalah seleksi tahap ke dua (tahap akhir) untuk mendapatkan beasiswa Qatar Foundation. Setelah teman-teman dinyatakan lolos dalam seleksi berkas (tahap pertama), teman-teman akan langsung diberikan detail kapan akan ditelepon langsung oleh pihak kampus untuk melakukan interview. Hari, tanggal, jam akan diberitahukan melalui email. Biasanya interview ini dilaksanakan satu sampai dua minggu setelah pengumuman hasil seleksi berkas.

Selanjutnya, setelah mendapatkan jadwal interview, tugas teman-teman adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin supaya bisa menjawab semua pertanyaan yang diajukan sehingga mendapatkan hasil terbaik.

Base on the experience, saat persiapan dulu saya banyak membaca artikel-artikel di internet yang membahas tentang tips dan trik melewati interview, kemudian saya rangkum point-point pentingnya, saya praktikkan dan alhamdulillah interview berjalan dengan lancar. Kuncinya adalah persiapkan diri semaksimal mungkin, jangan malas untuk mencari tahu tips dan trik melewatinya, dan tentunya jangan lupa selalu berdoa.

Sedikit bocoran tentang test interview yang saya lewati waktu lalu, durasi interview hanya sekitar 5 menit, tidak lama. Pertanyaannya seputar background pendidikan, skripsi yang ditulis, kegiatan saat ini, dan beberapa pertanyaan umum tentang ilmu jurusan yang kita apply.

Oh iya, dan jangan lupa dalam interview ini yang akan teman-teman hadapi adalah dosen atau profesor yang memang ahli di bidangnya, biasanya mereka adalah kepala jurusan yang kalian apply, tapi mereka baik-baik dan ramah kok, so jangan tegang dan keep calm. Jawab dengan lugas, tidak bertele-tele, be humble and be confident.

Terakhir, kemampuan bahasa teman-teman juga akan dinilai dalam interview ini. So, pastikan kalian sudah latihan terlebih dahulu dengan teman atau dengan diri sendiri, supaya bahasa Arab atau Inggris kalian tidak belepotan ketika interview nanti. 

Nerveus sedikit ga masalah, wajar. Asal jangan sampai mengganggu performa terbaik kalian. 
keep trying and good luck.

Indonesia, 3 Agustus 2018.

Kamis, 15 Maret 2018

Arah Haluan Pendidikan Islam di Qatar

"Belajar Islam sih di Qatar.", kalimat bernada nyinyir semacam ini yang diungkapkan oleh sebagian orang memang tidak sepenuhnya benar dan tidak juga sepenuhnya dapat disalahkan. Karena memang pada kenyataannya Qatar tidak begitu diperhitungkan sebagai pusat pendidikan agama Islam seperti halnya dengan Mesir, Saudi, Sudan, Maroko ataupun Yaman yang sudah masyhur sebagai tempat belajar ilmu-ilmu Islam. Namun di sini lah kiranya sikap adil dan objektif kita dalam memberikan sebuah penilaian perlu diterapkan sehingga kalimat bernada justifikasi dan generalisasi seperti di atas tidak perlu terlontarkan. 

Menurut saya, Indonesia sekalipun, meski secara historis tidak diperhitungkan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam, apakah patut kita katakan "Jangan belajar Islam di Indonesia"?, Tentu saja kita tidak setuju dengan kalimat tersebut karena nyatanya ada banyak institusi dan lembaga pendidikan di Indonesia yang diperhitungkan sebagai tempat unggulan untuk mempelajari ilmu-ilmu​ Islam. Begitu pula Qatar, dengan segenap usaha dan komitmennya, saat ini Qatar sedang terus berusaha menjadikan sektor pendidikan sebagai big project untuk pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia yang unggul, baik dalam bidang ilmu pengetahuan umum dan tentunya ilmu pengetahuan dalam bidang keislaman. 

Salah satu bentuk konkret komitmen Qatar dalam mengembangkan sektor pendidikan misalnya bisa kita lihat dari dibangunnya sebuah kawasan pendidikan modern yang mengintegrasikan 9 kampus ternama dunia dalam satu kawasan dengan berbagai fasilitas di dalamnya yang bertaraf internasional. kawasan ini disebut sebagai kawasan Education City (EC). Kawasan ini didirikan oleh Qatar Foundation (QF), sebuah lembaga non profit terbesar di Qatar yang dipimpin langsung oleh Shaikha Moza bint Nasser, Istri dari Sheikh Hamad bin khalifa, mantan Emir Qatar, dan ibunda dari Sheikh Tamim bin Hamad, orang nomor satu di Qatar saat ini.

Lalu kemana kah arah haluan pendidikan Islam di Qatar?

Meskipun berbatasan langsung dengan Saudi Arabia, Qatar secara jelas mengambil haluan yang berbeda dari Saudi Arabia yang cenderung lebih konservatif dalam hal pengajaran keilmuan Islam, meskipun tidak sepenuhnya demikian. Qatar menyadari bahwa Islam yang dibutuhkan saat ini adalah Islam yang modern, dan berani dalam berinovasi dalam rangka menjawab tantangan zaman sehingga Islam bisa masuk ke semua lini kehidupan yang saat ini semakin kompleks, dengan tentunya tidak meninggalkan nilai-nilai dasar agama Islam.

Prinsip Qatar yang seperti ini bisa kita lihat salah satu bentuk praktiknya ketika Hamad bin khalifa University (HBKU), sebuah universitas besar Islam yang didirikan pada tahun 2010 milik Qatar Foundation lebih memilih mendirikan program jurusan yang bernuansa Islam kekinian seperti program jurusan Contemporary Quranic Studies, Contemporary Fiqh, Islamic Finance, Islamic Thought and Applied Ethics, Comparative Religions, dan Islamic Civilization and Societies ketimbang program jurusan Islam yang bernuansa klasik dan konservatif. 

Namun pada akhirnya, institusi pendidikan hanyalah sebuah sarana, dan yang terpenting dari itu semua adalah semangat dan gairah para akademisi yang ada di dalamnya untuk terus maju, berkembang, berinovasi, dan bersaing secara sehat dalam rangka membimbing umat ke arah yang tentunya lebih baik di tengah gempuran budaya negatif barat yang kian mengkhawatirkan.

*Doha, 15 Maret 2018

Rabu, 13 Desember 2017

Jumlah Mahasiswa Indonesia di Qatar

Jumlah mahasiswa Indonesia yang saat ini sedang menempuh pendidikan di negara Qatar masih terbilang sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa Indonesia yang berada di negara Arab lainnya seperti Mesir, Saudi, Sudan, dan lain sebagainya. Selain karena peluang beasiswa pendidikan di Qatar yang masih sangat sedikit, kerja sama pemerintah Qatar dengan pemerintah Indonesia juga belum terjalin dalam bidang pendidikan.
Saat ini mahasiswa Indonesia yang ada di Qatar bisa dikategorikan berdasarkan jalur keberangkatan mereka dari Indonesia :
1.       Mahasiswa  program kursus bahasa Arab di Qatar University
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Darussalam Gontor (UNIDA) adalah dua instansi yang sejak lama sudah memiliki MoU dengan Qatar University dalam bidang pengembangan pembelajaran bahasa Arab. Setiap tahunnya dua instansi ini selalu mengirimkan dua duta mahasiswanya ke Qatar University (QU) untuk mengikuti program kursus bahasa Arab selama dua semester dengan sistem beasiswa. Selain mendapatkan tempat tinggal dan materi kursus bahasa Arab yang disesuaikan dengan level kemampuan pesertanya, mahasiswa program ini juga mendapatkan akomodasi dari QU setiap bulan. Mereka belajar bersama dengan puluhan mahasiswa dari berbagai negara non Arab yang sama-sama menjalin MoU dengan QU dalam bidang pengembahangan bahasa Arab.
2.       Mahasiswa Qatar Foundation
Berbeda dengan kategori pertama, mahasiswa Indonesia di Qatar Foundation (QF) berangkat secara mandiri dari Indonesia tanpa ada MoU dari kampus asal mereka di Indonesia dengan kampus tujuan di Qatar. Rata-rata dari mereka adalah hasil seleksi dari sekian banyak tahap tes penerimaan beasiswa S2 di QF. Seperti yang sudah saya jelaskan di artikel sebelumnya, setiap tahun QF membuka peluang beasiswa full bagi mahasiswa non Qatar yang ingin melanjutkan studi S2 nya di QF, baik di Hamad bin Khalifa University (HBKU) ataupun di kampus lainnya yang masih ada di bawah naungan QF. Fasilitas beasiswa ini juga tidak kalah menarik dengan beasiswa program kursus bahasa Arab di QU. Saat ini (Desember 2017) ada 4 mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi S2 di QF dengan beasiswa, dan ada beberapa lainnya yang manempuh studi S1 di QF namun non beasiswa.
3.       Mahasiswa Indonesia yang sudah lama menetap di Qatar
Berbeda lagi dengan kategori-kategori sebelumnya, mereka ini adalah masyarakat Indonesia yang sudah lama tinggal di Qatar untuk bekerja, atau ada keluarga mereka yang bekerja di Qatar sehingga mereka berkesempatan untuk kuliah di Qatar. Mereka tersebar di QU ataupun di QF, baik di jenjang S1 atau pun juga S2. Dan kebanyakan mereka kuliah dengan biaya mandiri atau non beasiswa.
Nah dari ketiga kategori di atas, ada beberapa kesimpulan yang bisa  kita ambil, antara lain:
1.       Hampir semua mahasiswa di Indonesia yang ada di Qatar datang melalui jalur beasiswa, baik jalur beasiswa kategori 1 ataupun 2.
2.       Belum ada peluang beasiswa S1 baik di Qatar University ataupun di Qatar Foundation.
3.       Biaya kuliah secara mandiri atau non beasiswa di Qatar tergolong mahal sehingga mahasiswa Indonesia yang datang melalui jalur mandiri sangat minim.
4.       Dengan jumlah mahasiswa Indonesia yang masih sangat sedikit dan durasi belajar mereka di Qatar yang relatif sebentar menjadi salah satu faktor belum terbentuknya Persatuan Pelajar Indonesia Qatar (PPI Qatar). 
5.       Peluang beasiswa di Qatar tetap ada khususnya untuk jenjang S2, namun cukup sulit karena koutanya yang terbatas dan persaingannya yang cukup ketat, ditambah minimnya informasinya tentang beasiswa tersebut.


*Doha, 13 Desember 2017.

Tafsir Maudhu’i | Hijrah dalam Tilikan Al-Qur’an

  Kata “Hijrah” kerap kita dengar sebagai label untuk seseorang yang awalnya serampangan lalu karena sebab tertentu merubah penampilan men...